Indonesian Watercolor Society's Activity


2008
: 19th Exhibition of The Asian Water Colour Confederation, 8 - 30 November 2008, in NEKA Art Museum, Ubud, Bali, Indonesia.

2009 : Watercolor Exhibition at Incheon Global Cities Art Festival Exhibition ( South Korea )

2009 : Watercolor Exhibition at Tian Jin City - China

2010 : Watercolor Exhibition at Zado island and Niigata - Japan 14 - 19 July 2010, 12 - 15 August 2010.

2010 : "The 2010 Incheon International Grand Art Festival" at Korea

2010 : Asia Watercolor Painting Alliance 22th at Shanghai - China

2011 : The 5th Exhibition of New Expression of Asian Art hosted by Dhonburi Rajabhat University, Thailand. Painting is exhibited at The National Gallery, Thailand from 12 - 27 January 2011

2011 : The Day of Princess Galayani Vadhana 5th (The Contemporary Art Exhibition of Thailand, at Thailand, June 5th 2011 - August 29th 2011

2011 : The 23rd Watercolour Painting Exhibition in Asia, August 25th 2011 - September 4th 2011. The painting is exhibited at The Art Gallery of Longtan Park, Qujing - China

2011 : Watercolour on Beautiful Small Space at Art Space, Podomoro City - Central Park, Jakarta. September 11th - October 11th 2011

2011 : 1st New Expression of Art Exhibition (NEWA) at Henan Art Museum in ZhengZhou of China on 22 - 28 November 2011

2012 : Safari Asian Watercolour Expression at Bentara Budaya Jakarta - Indonesia 4 - 15 April 2012
2012 : Safari Asian Watercolour Expression at Bentara Budaya Yogyakarta - Indonesia 22 - 30 May 2012
2012 : Safari Asian Watercolour Expression at Bentara Budaya Solo - Indonesia 2 - 9 June 2012
2012 : Safari Asian Watercolour Expression at Bentara Budaya Bali - Indonesia 22 - 29 July 2012

2014 : Asian Watercolour Expression II at Bentara Budaya Bali - Indonesia October 24th - November 2nd 2014

2016 : Asian Watercolour Expression III at Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Jawa Barat - Indonesia August 2nd - August 10th 2016

2018 : JUBILEE 25th Indonesian Watercolour Society at Njana Tilem Museum, Ubud - Bali. October 6th- 14th, 2018

2019 : Pameran Nasional. Indonesian Watercolour Society 2019. 3-10 September 2019 at Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Bandung, Jawa Barat, Indonesia

2023 : THE F1RST ASIAN SPIRIT, NEW DAYS COME. 26 Mei - 4 Juni 2023 at Auditorium Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Indonesia

Tuesday, August 9, 2016

Tentang Melukis dengan Cat Air dan Teknik Akuarel

Pengantar
Seperti yang saya sampaikan kepada Hendrik Lawrence Lukman dan Jennifer saat datang ke Studio Pohaci untuk menyampaikan maksud pameran yang berlangsung 2 – 10 Agustus 2016 di GIM ini, saya mengatakan “tidak akan memilih tawaran sebagai kurator melainkan cukup sebagai kerabat seniman yang berusaha membuat catatan.” Pilihan ini saya ambil mengingat sejumlah kewajiban kurator tak mungkin saya kerjakan. Hal kedua dan yang terpenting, saya menjadi merasa lebih leluasa menulis “dari dalam” yang tujuannya lebih terarah kepada masyarakat luas atau pun publik pecinta seni. Alasan lainnya karena sejak awal sudah terbayang bahwa dalam membicarakan seni lukis cat air dan teknik akuarel, itu hampir tak mungkin tanpa membicarakan hal-hal yang bersifat teknik. Dengan kata lain, untuk sampai kepada pemahaman serta apresiasi terhadap seni lukis cat air yang bersifat khusus dan unik itu tak ada jalan lain selain menempuh jalan pemahaman atas teknik-tekniknya. Namun demikian, perlu pula disampaikan, catatan berikut ini bukanlah uraian lengkap melainkan garis besarnya saja yang mudah-mudahan ada manfaatnya bagi apresiasi publik dan dunia seni lukis cat air dan teknik akuarel pada umumnya.
Cibolerang, Medio Juni 2016
HD
**
Blabar Awal
 
Bagi yang masih percaya, dahulu ada semacam keyakinan kesenimanan bahwa seorang pelukis boleh mengambil cara, teknik, dan penggayaan apapun tapi jika ia belum mampu menjinakan dan menguasai teknik cat air dengan sifat akuarelnya, maka ia belum bisa dikatakan sebagai seniman. Keyakinan tersebut bermaksud mengungkapkan bahwa teknik seni lukis cat air, itu tingkat kesulitannya di atas rata-rata teknik lukis dengan media lain. Sehingga ada keyakinan lanjutannya, jika seseorang menguasai teknik cat air akan dengan mudah menguasai teknik lukis cat minyak dan (apa lagi) akrilik. Katakanlah, wejangan atau keyakinan tersebut kuno dan/atau tidak kontemporer atau dianggap tak berlaku lagi bagi penganut seni “anything goes,” tapi bagi yang menjalani niscaya akan menjumpai kebenaran-kebenarannya.

Hingga saat ini, secara garis besarnya, ada dua arus besar didaktik atau tahapan cara menguasai teknik lukis cat air. Pertama adalah tradisi moyangnya yang diturunkan melalui peradaban dan kebudayaan Cina yang konon telah dimulai sejak 4.000 SM. Tradisi ini terus berlanjut sampai melewati masa 6.000an tahun. Kelak bersamaan dengan datangnya kepercayaan Buddhisme di abad ke-1, tradisi ini berjalin dengan aktivitas religius bahkan menjadi bagian dari kegiatan religius. Sepanjang waktu tersebut, niscaya terjadi sejumlah perkembangan, namun demikian ada pula yang relatif tetap yaitu esensi seni lukis cat air Cina yang berprinsip kepada penguasaan “pi” (koas) dan “mo” (tinta). Penguasaan di dalam pengertian hingga mecapai sensibilitas terhadap setiap jejak koas, sifat tinta dan hubungannya dengan kertas khusus, itu amat berkait dengan seni menulis aksara Cina.

Akan terlalu panjang jika diurai semua, ringkasnya saja bahwa mengguratkan koas dengan tinta Cina itu amat dekat hubungannya dengan prinsip atau latihan meditasi, ini pula yang kemudian begitu dekat hubungannya dengan sistem kontemplasi di dalam ajaran Budha. Betapa tidak? Bahwa menulis aksara dengan koas dan tinta di atas kertas khusus, itu prinsipnya tidak boleh salah karena secara teknis goresan yang salah itu tidak bisa dihapus dan/atau tidak bisa diulangi. Boleh jadi masih mungkin ditimpa dengan goresan berikutnya, tapi umumnya hanya menghasilkan goresan yang buruk atau berkesan gagap. Setelah prinsip “tidak salah” itu bisa dicapai, tahap berikutnya adalah penyadaran bahwa setiap jejak koas itu berbeda-beda, dan di setiap perbedaan tersebut memiliki wataknya masing-masing.

Mari kita bayangkan sejak jenis koas yang kita pilih, berapa banyak ia dicelupkan ke tinta, lantas seberapa besar tekanan tangan kita saat menggoreskannya; itu semua membutuhkan konsentrasi sekaligus sensibilitas. Ini pula yang disebut begitu dekat dengan prinsip latihan meditasi. Seperti yang kita ketahui, berikutnya adalah lukisan-lukisan lanskap yang diperkirakan berkembang sejak abad ke-4; lukisan-lukisan tumbuhan, burung dan satwa lain yang diperkirakan tumbuh sekitar abad ke-9; dan lukisan-lukisan figur yang berkembang pada masa dinasti Song (960 - 1127).

Di antara perkembangan tersebut, beberapa di antaranya tidak lagi berkait erat dengan religiositas bahkan di antaranya hanya berupa “kelangenan” dan/atau keterampilan teknis. Namun demikian, jika memperhatikan karya-karya yang terbaik, tetaplah memperlihatkan sifat dasar kontemplasi dan sensibilitas terhadap sifat dasar “pi” dan “mo.” Uraian ringkas di atas, sekadar untuk menggambarkan bahwa awal dan perkembangan dari salasatu arus seni lukis Cina itu berjalan bersama ketersediaan peradaban dan kebudayaannya. Pola pewarisannya pun berjalan lagsung bersama perjalanan kebudayaannya. Jejak-jejaknya di dalam pameran ini antara lain bisa dirasakan pada karya-karya Hong Poh Gaik, Keng Seng Choo, Wong Lo, Sipin Lim, Belle Tang Pui Yee.

Lain lagi dengan arus yang kedua, yaitu arus yang berada di luar kebudayaan Cina, umumnya ditempuh dengan cara bertahap, metodik, sehingga suatu ketika dikenal sebagai sistem akademik. Contoh terbaik yang pernah ada di Indonesia yaitu metoda yang pernah dikembangkan di Sanggar Rangga Gempol di bawah asuhan pelukis Barli Sasmitawinata (1921 – 2007)

Sanggar Rangga Gempol, cenderung menempatkan teknik seni lukis cat air itu di tahap tengah sebelum anggota sanggarnya melangkah ke tahap cat minyak (pada masa itu cat akrilik belum begitu dikenal). Setiap siswa atau anggota sanggar memulai belajar melukis dengan menggunakan pinsil. Dimulai dengan belajar menggambar objek sederhana, alam benda, hingga tahap awal menggambar model dan menangkap bentuk-bentuk arsitektural. Itu semacam cara memulai untuk mengenali media (pinsil), serta yang terpenting siswa mulai diperkenalkan kepada ragam objek, rasa ruang, sifat cahaya, dan penguasaan kelenturan tangan.

Tahap berikut, biasanya, berlanjut ke pinsil konte, semacam mediasi sebelum kepada langkah penggunaan charcoal (arang). Konte bentuknya masih berupa pinsil tapi sudah berbahan arang. Bukan saja sifat arang itu lebih hitam dari pinsil biasa, tapi dengan media ini siswa mulai berkenalan atau belajar merasakan bahwa sekadar garis pun ternyata sudah menentukan watak. Keras dan lembutnya tekanan tangan dengan media konte di atas kertas, itu menentukan karakter, jiwa, dan sifat yang berbeda-beda. Pinsil konte sendiri memiliki tingkat keras, menengah, dan empuk. Latihan dengan media ini semacam gerbang awal untuk memahami bahwa proses melukis itu disamping berhadapan dengan objek, sesungguhnya berkenaan pula dengan jiwa kita sendiri yang terwakilkan melalui karakter goresan.

Dua hal tersebut yang dikelola dan dari waktu ke waktu dijalani supaya terpahami. Setingkat di atas pinsil konte adalah sejatinya charcoal. Berbentuk batangan, sehingga selain bisa diperlakukan sebagaimana pinsil tapi bisa juga dengan cara gosok/gurat berdasarkan lebaran batangnya. Di sini, ringkasnya, tempat kita belajar memahami arti "bebas" dan kapan "menahan." Tegangan di antara kebebasan dan kefasihan menahan itulah yang kelak dianggap menentukan pencapaian bentuk seni. Sekadar catatan kecil, yang dimaksud "bentuk seni" bukanlah dalam ukuran menggambar kotak, bulatan, alam benda, atau sosok manusia itu menjadi persis, melainkan keseluruhan keberadaan hasil goresan kita di keseluruhan bidang gambar. Persis dan tidak persis, tentu saja bukan artinya diabaikan, tapi itu sesungguhnya belum menjadi puncak penentu bentuk seni.

Tak bisa dengan cara ringkas, tapi kira-kira itulah pelajaran yang bisa dipetik dari teknik penggunaan charcoal. Bahwa kita mulai belajar mengontrol ke luar (menangkap apa yang kita lihat) sekaligus menjenguk bagian dalam diri kita sendiri yang terlampiaskan melalui energi dan sifat goresan. Di tengahnya, seperti telah disebut, terdapat semacam "tegangan" yaitu diri kita yang tengah bekerja, berada pada dimensi atau situasi yang paling mengasyikan, suwung tapi tak diam, ada yang terukur tapi banyak pula faktor tak terduganya, dan seterusnya. Arus yang kedua, relatif, membuka jelajah kemungkinan seni lukis cat air menjadi lebih variatif, gambarannya seperti akan terurai di bawah ini.

Cat Air dan Akuarel
Di penghujung catatan di atas, kita sampai pada kata kunci "bebas" dan "menahan" dengan media pinsil hingga arang. Yang perlu kita pahami di sini bahwa sejauh apapun "bebas" dan "menahan," itu dalam artian semuanya masih di bawah kontrol si pelukisnya. Media (pinsil hingga arang) itu sepenuhnya di bawah kendali sang seniman. Dalam beberapa hal masih mungkin melakukan gosokan, bahkan masih mungkin pula menghapus bagian yang dianggap tidak perlu. Cat air dengan sifat akuarelnya, itu lebih jauh lagi; secara teknis media ini bisa disebut “memiliki kehendaknya sendiri.” Maka cenderung bersifat liar, sulit (untuk tidak dikatakan sama sekali tak bisa) dikontrol. Sebagai gambaran ringkasnya, berikut ini adalah uraian serba sekilas tentang sifat akuarel pada cat air.

Basuh dan blabar, teknik cat air yang paling dasar adalah teknik basuh, yaitu membasahi daerah kertas yang akan diberi basuhan cat. Campuran pigmen pewarna (cat) ditakar secukupnya untuk mengisi seluruh area atau sebatas area yang dikehendaki saja. Pigmen diterakan pada permukaan miring, sedikit tumpang tindih dalam posisi horisontal atau pun atas ke bawah hingga menghasilkan efek blabar. Setelah terasa seperti yang dikehendaki, basuhan harus dibiarkan kering. Si pelukis harus tidak tergoda untuk bekerja kembali di atas basuhan yang belum kering. Jika dipaksakan, biasanya hanya menghasilkan bencana! Salasatu variasi dari teknik dasar ini adalah basuhan untuk menghasilkan gradasi. Teknik ini membutuhkan pigmen yang diencerkan sedikit dengan air yang diulaskan di setiap sapuan koas horisontal. Hasilnya adalah basuhan dari pekat ke arah memudar secara bertahap dan merata.

Glazir, mirip dengan teknik basuh tetapi dengan sapuan tipis, dan menggunakan pigmen transparan yang diaplikasikan di atas bidang basuhan yang sudah kering. Tujuannya adalah untuk mengatur warna dan nada dasar basuhan. Idealnya tanpa pewarna, jika menggunakan pigmen seyogianya yang bersifat transparan karena sifatnya dapat diterakan lapisan demi lapisan hingga mencapai efek yang diinginkan. Setiap lapisan yang diterakan itu mesti dipastikan atau benar-benar di atas lapisan yang telah kering, demikian pada teraan-teraan berikutnya.

Basah di atas basah, secara teknis merupakan proses peneraan pigmen di atas kertas basah, dan lagi-lagi dengan efek blabarnya. Hasil dari teknik ini adalah variasi dari pekat, lembut, hingga kabur. Itu tergantung pada bagaimana membasahi bidang kertas. Teknik ini dapat diaplikasikan di atas basuhan yang tersedia di antara yang benar-benar kering. Maka, biasanya, dilakukan pada langkah pra-ditel. Kertas dibasahi dengan kuas dengan besaran secukupnya. Ketika koas disapukan, bidang lembut akan muncul dari bidang basah. Ini, misalnya, kelak digunakan sebagai daerah untuk latar belakang dengan nada lembut.
Koas kering, nyaris merupakan teknik yang sebaliknya dengan teknik basuh atau pun teknik basah. Koas yang telah dicelup di pigmen (hendaknya tidak terlalu banyak air), itu diseret di atas bidang kertas yang benar-benar kering. Jejak yang dihasilkan dengan teknik ini biasanya terasa renyah dan bersisi tajam. Cenderung dilakukan sebagai tahap lanjutan dari lukisan, dan/atau diterakan di sekitar area yang lebih ditel lagi.

Mengangkat lepas, umumnya pigmen cat air itu larut dan menera kuat setelah kering. Apalagi warna-warna seperti biru phthalo atau prussian, alizarin, merah Windsor, dan kuning itu sulit untuk dihapus; bahkan sebaiknya dihindari untuk kehendak menghapus/menghilangkan. Jika terpaksa sekali, bisa mengangangkat lepas dengan cara membasahi area yang akan dihapus dengan koas dan air bersih, pigmen disusut dengan kertas tisu. Bisa juga menggunakan lembar irisan kertas untuk menutupi daerah pigmen, lantas susut dengan tisu, maka akan menghasilkan tarikan jejak garis yang tegas atau tajam.

Meneteskan Warna, teknik ini adalah proses menyentuhkan warna di daerah basah agar memblabar serta berbaur tapi tanpa mengganggu warna/bentuk yang telah ada. Hasilnya seringkali tak terduga serta kerap juga menghasilkan gradasi warna yang menarik, yaitu menghasilkan gabungan atau pertemuan warna yang tidak bisa dicapai dengan mencampur pigmen pada palet. Itu serba selintas saja sekadar untuk menggambarkan bahwa sifat akuarel itu relatif “liar,” butuh ketelatenan dan kesabaran saat pengerjaannya, disamping tentu saja telah faham betul akan sifat-sifatnya. Lepas dari kelebihan dan kekurangannya masing-masing, bagaimanapun terasa sekali bedanya dengan teknik cat minyak dan (apalagi) cat akrilik, dimana lapisan-lapisan warna atau pun goresan koas bisa saling tutup dan dilakukan secara langsung di atas bidang lukis. Teknik-teknik tersebut, bisa disebut sebagai kembangan arus kedua. Seperti telah disebutkan, kembangan ini pula yang membuka jelajah kemungkinan seni lukis cat air menjadi lebih variatif. Di satu sisi bisa bertemu kembali dengan teknik-teknik dasar yang telah dilakukan melalui media pinsil hingga arang, hingga kemungkinan terjauh yaitu melepas potensi sifat akuarel menjadi semurni-murninya sebagai bahasa rupa. 

Jelajah Rupa
 
Dengan sedikit uraian di atas, kiranya kita sudah mulai bisa membaca bagaimana teknik dasar yang telah terlatih menangkap objek arsitektural, kehidupan, dan lanskap itu tertera kembali di dalam teknik cat air yang sangat baik seperti terlihat pada karya Irwan Wijayanto, Sam Young Lee, Hee Sung Lee, Jeong Hee Lee, Ji In Hong, Yong Kang Yun, Yong Look Lam, Koay Shao Peng, Alex Leong, Chin Chuan, Lee Weng Fatt, Myint Aung, Hla Phone Aung, Myint Naing, Khin Muang Zaw, Wong Lo, Wilfredo, hingga yang begitu menakjubkan sekali pada karya Hendrik L. Lukman.
Kekuatan yang telah fasih tersebut terlihat pula pada sejumlah lukisan figur seperti pada karya Tjandra Kirana, Huang Fong, Untoro, Hanny Widjaja, Min Wae Aung, dan secara menakjubkan dalam olahan akuarel serta gagas yang lebih jauh lagi tampak pada karya Calvin Chua Cheng Koon.

Di sisi lain, akuarel pun ternyata bisa dijalani sebagai medium penjelajahan perupaan seperti ditunjukan oleh Lies Darja, Benny Setiawan, tentu saja maestro Barli Sasmitawinata, Dodo Abdullah, Gyo Sang Choi, Jing Chung, Goh Beng Kwan, Poh Siew Wah. Serta lebih jauh lagi kekuatan akuarelnya dikedepankan sebagai bahasa rupa itu sendiri seperti tampak pada karya Agus Budiyanto, Tham Siew Inn, Nina Pryde, hingga Sunaryo, dan karya Harlim yang begitu menakjubkan.

Pameran “Asian Waterclour Expression III” dengan thema “Hallo.... Hallo Bandung,” ini menjadi semakin berharga karena menampilkan pula karya-karya maestro Indonesia seperti Barli Sasmitawinata, Srihadi Sudarsono, Siauw Tik Kwie, Abdullah Suriosubroto, Lee Man Fong, Azis Tirtaatmadja, Sunaryo, dan Doddo Abdullah.***
(Herry Dim, pelukis, pengamat seni dan kebudayaan, tinggal di Bandung)

0 comments:

StatusThis Blog

Developed by Moonstone Studios in association with hendrugs46 Production.
Update Everyday
All Rights Reserved

Contact Us

Blog Admin >>>
Kwang Hui/ Hendra K
hendrugs46@yahoo.com
+62 813 387070 58

Indonesian Watercolor Society Office Address >>>
Komplek STS Blok E no 18-19, Sunter Agung Utara , Jakarta Utara - 14350 INDONESIA

Robby Lulianto: +62 81 58731 889
Hendrik L. Lukman: +62 813 2094 9145
Lies: +62 816 901 563
Iwan S Komari: +62 817 9810 180
Email:
robbylulianto@yahoo.co.id
lawrencehendrik@gmail.com

  © Designed and Maintened by Moonstone Studios 2011

Back to TOP